nusakini.com--Indonesia bersama koalisi 47 negara berkembang anggota WTO (G33) serukan pentingnya kedaulatan dan keamanan pangan. Seruan ini muncul dalam perhelatan di markas WTO, Jenewa bertema "Delivering Development in MC11: Public Stockholding for Food Security Purposes (PSH) dan Special Safeguard Mechanism (SSM)". 

Pertemuan yang dibuka oleh Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo tersebut bertujuan membuka pandangan anggota WTO mengenai pentingnya instrumen-instrumen perlindungan sebagai jaring pengaman untuk melindungi kepentingan petani kecil dan miskin di negara berkembang. 

"Pertemuan juga dimaksudkan untuk mewujudkan kemananan pangan, keamanan penghidupan dan pembangunan pedesaan," jelas Dubes Hasan Kleib dalam sambutan pembuka, seraya sampaikan harapan Indonesia agar pertemuan dapat berkontribusi terhadap proses perundingan kedua isu tersebut di WTO. 

Dalam keterangannya kepada Portal Kemlu, Hasan Kleib mengatakan negara-negara anggota WTO tengah merundingkan bentuk dan format SSM dan PSH yang dapat disepakati. 

"Khususnya dalam konteks penyelenggaraan KTM WTO ke-11 di Buenos Aires, Desember 2017 mendatang," imbuhnya. 

SSM adalah instrumen perlindungan kepada petani kecil dan miskin pada saat terjadinya banjir impor. Sedangkan PSH adalah instrumen perlindungan petani kecil dan miskin melalui mekanisme pembelian dan penjualan oleh Pemerintah terhadap hasil pertanian domestik.      

Bagi Indonesia, disepakatinya kedua instrumen tersebut di WTO akan memberikan ruang kebijakan yang lebih besar kepada Pemerintah untuk menjalankan berbagai kebijakan demi mewujudkan keamanan dan kedaulatan pangan. 

Instrumen dimaksud juga berpotensi membantu upaya pengurangan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan petani kecil dan miskin. 

Salah satu permasalahan yang dihadapi Indonesia saat ini adalah masih tingginya jumlah petani miskin dan kecil yang memerlukan dukungan dari Pemerintah. Survei BPS tahun 2016 menyebutkan, dari total 27,76 juta penduduk miskin di Indonesia, sebanyak 62,24 persen atau 17,28 juta orang berada di kawasan pedesaan. Sementara, sisanya 37,76 persen atau 10,49 juta penduduk miskin berada di perkotaan. 

G33, yang dipimpin oleh Indonesia, merupakan kelompok yang memperjuangkan diakuinya hak-hak negara-negara berkembang untuk dapat memberikan dukungan kepada para petani kecil dan miskinnya. 

Selama ini, tingkat kesejahteraan petani kecil dan miskin di negara berkembang semakin termajinalisasikan karena terpengaruh oleh tingginya tingkat volatilitas harga produk pertanian global sebagai akibat dari keterbukaan pasar. 

Hal ini lebih diperburuk oleh masih rendahnya tingkat daya saing produk pertanian domestik untuk melawan produk impor dari negara maju yang memiliki daya saing lebih tinggi, sebagai akibat dari subsidi yang diberikan oleh Pemerintahnya.(p/ab)